Pemandangan anak-anak atau remaja pergi mengaji ke surau dengan mendekap
kitab suci al-qur’an di dadanya, saat ini sungguh merupakan pemandangan
yang sangat langka. Kita lebih mudah menemukan anak-anak membawa komik
atau buku kartun di tas dan dalam tentengannya, kita lebih mudah
menemukan remaja dan orang dewasa membawa buku-buku karya penulis barat,
buku-buku Kahli Gibran, novel-novel melankolis atau bahkan cengeng,
kenapa?
Kenapa kita seolah-olah malu ketika menyandang atau membawa al-qur’an dalam tas kita?
Kenapa
kita seolah-olah minder ketika kita membaca al-qur’an sementara orang
lain membaca Kahlil Gibran, Wiro Sableng atau buku-buku Ko Pinho?
Kenapa
kita seolah-olah merasa ketinggalan zaman ketika kita membaca
al-qur’an, sementara orang lain membaca Seven Habit-nya Stephen Cohey?
Kenapa
seolah-olah buku-buku bacaan, koran dan surat khabar justru menjadi
menu wajib di ruang baca kita, sementara al-qur’an tak lebih dari
sekedar pajangan di rak dan lemari buku?
Ada sebuah pergeseran
perilaku dan cara pandang kita terhadap al-qur’an, mungkin salah satu
penyebabnya. Padahal sejarah mencatat periode keemasan Islam justru
terjadi ketika umatnya, umat Islam ini demikian menghargai al-qur’an,
menjadikannya rujukan, menjadikannya imam, menjadikannya sumber dari
segala sumber hukum, menjadikan al-qur’an sebagai bacaan wajib, memahami
kandungannya dan kemudian mengamalkan apa yang digariskannya.
Tidakkah kita ingin benar-benar kembali menjadi umat terbaik yang diturunkan Allah kepada manusia?
Adakah
kita cukup puas dengan sebutan saja, sementara dalam kenyataannya, umat
Islam saat ini ibarat buih di lautan yang dihempas ombah kian kemari,
berpecah belah, karena setiap kita mempunyai pemikiran yang parsial dan
hanya berdasar pada logika dan asumsi, bukan bersandar pada kebenaran
al-qur’an yang telah dijamin oleh Allah sebagai satu-satunya bacaan yang
akan memberi syafaat di Yaumil Akhir nanti.
Kalau saat ini kita
belum mampu menjadikan al-qur’an sebagai menu utama ruang baca kita,
kenapa kita tak menyempatkan diri membaca al-qur’an di sela-sela rehat
kita, setidaknya kita melatih diri untuk bisa hidup nyaman dengan
al-qur’an.
Kalau seorang mekanik memjalankan mesin harus
mengikuti buku manualnya, kalau mobil harus dijalankan dengan panduan
manualnya, kalau pesawat terbang harus sesuai denga aturan yang
ditetapkannya, kok bisa ya kita menjalani roda kehidupan kita tanpa
panduan al-qur’an?!
Kenapa kita tidak belajar dari sejarah,
bagaimana kehancuran umat-umat sebelum Islam pun terjadi ketika mereka
berpaling dari apa yang telah digariskan oleh Tuhan dalam kitab-kitab
sucinya. Kehancuran umat-umat itu ketika mereka hanya menjadikan
kitab-kitab itu tak lebih dari sebuah bacaan kuno, yang dibawa kian
kemari tanpa tahu apa isi kandungannya, Allah menyindir golongan dari
jenis ini lewat firman-Nya;
(Quran Surah Al-Jumu’ah ayat 5)
“Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, Kemudian
mereka tiada memikulnya [*] adalah seperti keledai yang membawa
kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang
mendustakan ayat-ayat Allah itu. dan Allah tiada memberi petunjuk kepada
kaum yang zalim.”
[*] Maksudnya: tidak mengamalkan isinya, antara lain tidak membenarkan kedatangan Muhammad s.a.w.
Apakah
kita akan mengulangi kesalahan kaum-kaum fasik tersebut? Apakah kita
tidak malu menyebut kita umat terbaik, sementara perilaku dan cara kita
memperlakukan al-qur’an hampir sama dengan mereka memperlakukan
kitab-kitabnya?
Mari kita rubah cara pandang dan pola pikir terhadap al-qur’an, mari kita bangga membaca, memahami dan mengamalkan al-qur’an.
Biarkan
saja jika masih ada orang-orang yang mendiskerditkan al qur’an dengan
pikiran-pikiran piciknya, karena al-qur’an tak perlu membuktikan apapun
bahwa al-qur’an memang kebenaran yang datangnya dari Allah. Justru
mereka-mereka itulah yang harus membuktikan ucapan dan
pemikiran-pemikiran piciknya terhadap al-qur’an.
Tengok disekitar
kantor kita, ada berapa al-qur’an di sana? Kalau belum ada, mungkin
kita bisa menyediakannya untuk memungkinkan kita setiap hari bisa
berhubungan dengan al-qur’an.
“Suasana di kota santri, asyik menyenangkan hati”
“Tiap pagi dan sore hari muda-muda berbusana rapi”
“Pulang pergi mengaji”
“Hilir mudik silih berganti, menyandang kitab suci”
Demikian
sebuah syair qasidah yang masih cukup enak didengar, mengingatkan kita
pada masa-masa dikampung dulu, masa indah di mana kita pergi ke
surau-surau untuk mengaji, mendekap kitab suci al-qur’an yang terbungkus
rapi dalam balutan kain putih.
Diriwayatkan oleh Ibnu Umar ra.
Rasulullah SAW bersabda ,”Hari kiamat tidak akan terjadi sebelum Al
Qur’an pulang kembali ke asalnya sehingga gema al Quran berdengung di
sekitar ‘Arasy’ seperti dengungan lebah. Kemudian Allah SWT bertanya,
“Ada apa denganmu? Al Quran menjawab,”Dari-Mu aku keluar dan kepada-Mu
aku kembali. Aku dibaca, tetapi tidak diamalkan,’pada ketika itulah Al
Quran diangkat ke haribaan Allah.” (HR ad Dailami) - Sumber : FB Ustad Yusuf Mansyur